Kamis, 25 Desember 2008

cinta sejati

apa yg kita ingat dari kenangan2 yg terekam oleh kita?nama tempat,nama permainan,nama teman atau kejadian adl hal2 yg mungkin lambat laun bs berubah,tapi....tidak dengan RASA,rasa senang,rasa sedih yg akan trus kita bawa tanpa mudah tercecer di sepanjang perjalanan kita... dan semakin kita dewasa kita akan menyadari bahwa diantara kenangan2 tersebut ada satu rasa yg paling besar yaitu CINTA...ketika satu persatu crita berhenti dan menjadi kenangan,,cinta trus bergerak seiring harapan yg menyertai dia....cinta yg tak terlihat oleh mata,tak traba oleh tangan,tapi dia ada bahkan sejak kita blm bisa mengucapkannya,,,cinta sejati...cinta ketika kita kira sudah pergi,,ternyata hanya sembunyi menunggu untuk kembali lagi.......

masalah hutan

Permasalahan hutan dan upaya penanganan


oleh pemerintah


Negara Indonesia yang terdiri dari 17.058 pulau itu memiliki keanekaragaman
tumbuhan, hewan jasad renik yang lebih besar daripada negara-negara tetangganya. Hal
ini terjadi karena keadaan alamnya yang berbeda dari satu pulau kepulau lainnya, bahkan
dari satu tempat ke tempat lainnya dalam pulau yang sama. Sistem perpaduan antara
sumber daya hayati dan tempat hidupnya yang khas itu, menumbuhkan berbagai
ekosistem, yang masing-masing menampilkan kekhususan pula dalam kehidupan jenisjenis
yang terdapat didalamnya

Sumber daya hayati yang paling banyak dieksploitasi pemnfaatannya adalah sumber
daya yang terdapat dalam ekosistem hutan hujan yang terletak di dataran rendah . Dari
segi ekonomi memang ekosistem hutan semacam inilah yang dapat mendatangkan
keuntungan terbesar karena mengandung kekayaan paling tinggi yang disebabkan oleh
adanya keanekaragaman hayati yang terbesar pula. Lagipula bagian terbesar hutan-hutan
Indonesia termasuk dalam hutan hujan tropik yang terletak di dataran rendah itu. Di
dalam hutan semacam ini tumbuh berbagai jenis kayu yang bernilai ekonomis tinggi.

Secara internasional hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia dan dianggap
signifikan mempengaruhi iklim dunia. Selain itu, sebagai sumber keragaman hayati dunia
hutan Indonesia telah menjadi perhatian untuk dipertahankan keberadaan dan tingkat
mega biodiversity, yang memiliki 10 persen tumbuhan berbunga di dunia, 17 persen
spesies burung , 12 persen satwa mamalia, 16 persen satwa reptilia, dan 16 persen spesies
amphibia, dari populasi dunia.

Oleh karena itu, pengelolaan hutan Indonesia perlu dilakukan secara profesional dan
terencana sehingga hutan dapat dimanfaatkan secara optimal, tanpa mengurangi
kemampuan hutannya menghasilkan manfaat berkelanjutan bagi masyarakat lokal,
nasional, maupun regional, bahkan internasional.

Pengelolaan hutan yang profesional dan terencana dibutuhkan, terutama untuk daerah
yang rentan terhadap terjadinya degradasi lahan dan lingkungan, seperti di Irian Jaya.


Selama 3 dekade sektor kehutanan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi
bangsa, dan telah memeberikan dampak positif, seperti penyerapan tenaga kerja,
perolehan devisa, dan pengembangan wilayah.

Diakuinya pengelolaan hutan di masa lalu banyak kekurangan. Dinamika
pembangunan masa lalu telah menyebabkan pemanfaatan hasil hutan, terutama kayu,
yang berlebihan terbukti oleh kapasitas industri nasional yang melebihi kemampuan
pasok kayu lestari.

Kekecewaan terhadap sistem pengusahaan hutan telah menimbulkan berbagai
permasalahaan di beberapa daerah yang berdampak terhadap degredasi hutan. Selama 5
tahun terakhir, laju deforestasi diperkirakan 1,6 juta hektar per tahun.

Berdasarkan citra satelit 1995 -1999 hutan produksi yang rusak di Indonesia pada 432
HPH mencapai 14,2 juta Ha, sedangkan kerusakan pada hutan lindung dan hutan
konservasi mencapai 5.9 juta Ha.

Kerusakan tersebut, disebabkan oleh pengelolaan hutan yang tidak tepat, penebangan
liar, perambahan hutan, dan pembukaan hutan skala besar serta kebakaran hutan.
"Kerusakan bahkan diperburuk oleh krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak
beberapa tahun yang lalu

Ada 2 hal yang bisa dikatakan sebagai penyebab dari kerusakan hutan. Yang pertama
adalah adanya hak penguasaan hutan yang kita ketahui tidak lagi berjalan secara
prosedural. Dalam artian instasi-instasi yang mendapat hak penguasaan hutan atau HPH
tidak lagi mematuhi peraturan dalam pengelolaan hutan mereka.Sedangkan yang kedua
adalah penambangan-penambangan di kawasan htan lindung yang sampai saat ini
mengalami kontroversi karena banyak investor yang merasa “nggondok ” karena mereka
sudah terlanjur menanamkan investasi mereka untuk penambangan sedangkan di
Indonesia sendiri baru saja dikeeluarkan UU No 41/1999 yang melarang adanya
penambangan didaerah konservasi.

Untuk mengatasi permasalahan mengenai boleh tidaknya penambangan di daerah
hutan lindung Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro
mengatakan, pihaknya masih tetap mengupayakan agar usaha pertambangan bisa
dilakukan di kawasan konservasi atau hutan lindung. Menurutnya, pihaknya akan tetap
mengupayakan hal itu, meskipun Menteri Kehutanan, M Prakosa menyatakan tidak akan


memberikan peluang bagi pengusahaan pertambangan di kawasan hutan karena dianggap
melanggar UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan.

Permasalahan pengusahaan pertambangan di hutan menjadi pelik karena ada kontrakkontrak
pertambangan yang telah dilakukan sebelum UU Nomor 41/1999 diberlakukan.
Setelah UU itu berlaku, ternyata Departemen Kehutanan menetapkan bahwa lokasi
pertambangan tersebut berada di dalam kawasan konservasi. "Hal-hal seperti ini pula
yang perlu dibicarakan dengan kedua pihak karena kontrak juga merupakan produk
hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah bersama investor," ungkapnya.

Penyelesaian itu, lanjut Purnomo, tak harus selalu dengan melakukan perubahan UU
No 41/1999. Ia menambahkan, kenyataannya di beberapa daerah juga terdapat kawasan
hutan lindung yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, namun nyatanya bukan hutan
lindung lagi, tapi hanya padang ilalang belaka. "Hal itu pula yang perlu didefinisikan
lagi," tegasnya.

Sebelumnya, sejumlah investor telah menunda pengusahaan pertambangan di Kawasan
Timur Indonesia karena terdindih peraturan sektor kehutanan dan pertambangan. Investor
tersebut mengancam tidak akan menempatkan dananya di Indonesia lagi, jika
permasalahan hukum di Indonesia belum juga teratasi.

Pemerintah membentuk dua tim untuk menyelesaikan masalah pertambangan yang
diakibatkan oleh undang-undang No. 41/1999, di mana pertambangan terbuka tidak
diperbolehkan di kawasan hutan lindung dan konservasi. Tujuannnya untuk mencari titik
penyelesaian dari masalah tumpang tindih ini. Terutama difokuskan pada kontrak-kontrak
pertambangan dan enerji yang ditandatangani sebelum UU No. 41 /1999 itu tersebut. Hal
ini untuk menjaga iklim investasi dan kelangsungan pengusahaan ini.

Dengan adanya UU No. 41/1999 itu, sebagian besar perusahaan pertambangan yang
masih eksplorasi menjadi terhenti kegiatannya karena adanya pergeseran dari hutan
produksi menjadi hutan lindung.

Sampai saat ini terdapat 150 perusahaan pertambangan terdiri dari 116 tahap eksplorasi
dan 34 sudah dalam tahap ekploitasi.

Menurut Purnomo, jumlah nilai rencana investasi 1-5 tahun sejak 2000 adalah 3,2
milyar dolar As. Sedangkan kontribusi dari 7 kontrak area terhadap perekonomian
nasional sebelum UU No. 41/1999 diterbitkan adalah 944 juta dolar AS.


Menurut menhut Prakosa, kedua tim tersebut nantinya akan melibatkan seluruh unsur
masyarakat terdiri dari LSM, PT, kantor KLH , Pemda serta swasta. "Semua pihak
terlibat di sini. Jadi mempunyai nilai kompetensi ilmiah yang dibutuhkan untuk menilai
sehingga diharapkan komprehensif dan obyektif," tambah Menhut.

Kedua tim tersebut adalah tim A yang dibentuk melalui SK menteri perekonomian dan
bertugas untuk meneliti perusahaan yang sudah dalam tahap eksploitasi. Sedang tim B
dengan SK menhut meneliti perusahaan yang amsih dalam tahap ekplorasi.

Selain itu, lanjut Purnomo, pemerintah sedang menyelesaikan rencana peraturan
pemerintah yang difasilitasi oleh sekretaris kabinet dan diharapkan bisa menjembatani
masalah-masalah yang timbul dari UU No. 41/1999.

Sedangkan untuk kontrak-kontrak ke depan menurut Menhut, akan megikuti aturan
UU No. 41/1999 yang menyatakan dengan tegas bahwa tidak diperbolehkan untuk
melakukan pertambangan terbuka di hutan lindung dan konservasi.

Sedangkan kerusakan hutan yang disebabkan oleh penyalahgunaan Hak Penguasaan
Hutan (HPH) ditanggapi oleh Menteri Kehutanan (Menhut) M Prakosa dengan cara
menunda izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) sampai review pengkajian HPH untuk
mendapatkan gambaran secara menyeluruh mengenai hutan Indonesia selesai dilakukan.

Menhut mengharapkan tahun 2003, semua HPH sudah mendapatkan sertifikasi
pengelolaan hutan produksi lestari. "Yang tidak dapat itu akan kita cabut izinnya. Kita
akan betul-betul tegas, tidak akan main-main dalam pengelolaan hutan ini," ujar Prakosa.

Review HPH ini menurutnya akan dilakukan oleh lembaga independen berdasarkan
kriteria yang diajukan Dephut, namun Dephut sendiri tidak terlibat dalam peristiwa
tersebut.

Sampai saat ini, sudah ada tiga institusi yang mereview HPH, dimana review sendiri
akan dilakukan April mendatang. Menhut mengemukakan, dirinya menghadap Wapres
melaporkan mengenai upaya yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Dephut,
terutama berkaitan dengan restrukturisasi kehutanan dalam rangka efisiensi.

Dikemukakannya, dalam rangka efisiensi tersebut, Dephut melakukan tiga kegiatan
yaitu rehabilitas, pemanfaatan dan industri kehutanan. "Dari hulu sampai ke hilirnya akan
dilakukan pembenahan-pembenahan dan sudah dilaksanakan, sehingga akan diperoleh
suatu struktur bisnis kehutanan yang efisien," jelasnya.


Prakosa menambahkan, Dephut tidak akan memperpanjang izin HPH bila hutan yang
dikelola perusahaan tersebut tidak bagus, dimana potensi hutannya harus 75 meter kubik
per hektar atau setara 14 pohon berdiamater 50 cm ke atas per hektar. "Jadi kalau areal itu
sudah rawan, kita masukkan sebagai area rehabilitas, sehingga tingkat eksploitasi
hutannya kita kurangi sedemikian rupa," katanya.

Ia mencanangkan, dari 10-20 tahun ke depan, tidak bisa tidak merupakan era
rehabilitas dan konservasi hutan, karena tingkat eksploitasi hutan Indonesia saat ini sudah
terlalu tinggi sehingga melebihi daya dukung hutan untuk rehabilitas.

Secara global yang dibutuhkan oleh kelestariaan hutan adalah sebuah pengelola yang
sah dan bertanggung jawab. Seperti yang dijanjikan oleh Menteri Kehutanan.Menteri
Kehutanan Nur Mahmudi Ismail mengusulkan sebuah perusahaan umum (Perum) sebagai
instansi pengelolaan hutan sebagai konsep sistem baru yang menyatukan legalitas
pemanfaatan dan legalitas hukum pengelolaan hutan lestari.
, Ia menjelaskan institusi tersebut merupakan pemegang mandat dalam pelaksanaan
otonomi pengelolaan hutan, sekaligus pemegang mandat dari pemerintah pusat, sebagai
pemegang kewenangan hukum atas kawasan hutan.

Untuk sementara institusi yang dimaksud dinamakan Badan Pengelola Kehutanan
dalam bentuk badan usaha Perum dengan struktur dewan pengawas dan dewan direksi,
dari perpaduan wakil masyarakat adat, swasta, pemerintah kabupaten dan propinsi dan
pemerintah pusat.

Menurut dia, sistem itu akan lebih menguntungkan Pemda serta masyarakat dan lebih
menjamin terwujudnya kelestarian hutan.

Mengingat begitu banyaknya manfaat hutan dan kondisi huatan yang masih kritis.
Seadangkan lingkungan hidup kita selalu dituntut untuk terus mampu menghidupi
kebutuhan manusia maka ada baiknya bagi kita untuk lebih mengingat kembali tugas kita
untuk memperbaiki hutan kita.

Kamis, 18 Desember 2008

kerusakan hutan

Kerusakan hutan di Indonesia menurun dari 2,83 juta hektar per tahun menjadi 1,08 juta ha per tahun atau menurun 60 persen. Keberhasilan itu setelah Departemen Kehutanan (Dephut) menggalakkan gerakan penghijauan nasional selama tiga tahun (2004-2007), kata Kepala Pusat Informasi Dephut, Ir Masyhud kepada wartawan di Jambi, Kamis.

Dephut selama dua hari di Jambi (13-14 Agustus 2008) menggelar konsultasi publik menggalakkan program nasional "Indonesia Menanam Satu Juta Pohon" pada 2008 dalam rangka Kebangkitan Indonesia 100 tahun.

Masyhud menjelaskan, degradasi hutan di Indonesia berhasil diturunkan selama tiga tahun itu dengan menggerakkan program penghijauan dengan menanam 2 miliar lebih pohon. Program penghijauan itu dicanangkan melalui Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) dan Indonesia Menanam dengan semboyan "Kecil Menanam, Besar Memanen", "Tebang Satu Tanam Seribu", serta "Santri Menanam, Kyai Memanen, Anak dan Cucu Memanen".

Sejumlah peneliti asing menyebut gerakan penghijauan nasional menurunkan tingkat degradasi menjadi 70.000 ha per tahun. Pada 2005 tutupan hutan atas keberhasilan penghijauan mencapai 80 juta hektar. Lahan kritis dari kerusakan 59,2 juta hektar per tahun menurun menjadi 30 juta ha per tahun.

Sedangkan, pada 2007 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Indonesia Hijau di Jonggol menargetkan menanam 79 juta pohon, namun terealisasi melebihi target yaitu 86,9 juta ha.

S
ementara Gerakan Perempuan Menanam yang dicanangkan Ibu Ani Yudhoyono dari target 10 juta pohon ternyata bisa mencapai penanaman pohon 14,1 juta. Keberhasilan itu terlihat karena antusias dan kian tingginya kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kelestarian hutan, sebab akibat kerusakan hutan selama ini telah menyengsarakan semua pihak seperti bencana alam banjir, kekeringan, dan kebakaran hutan.

B
encana itu tidak hanya mengalami kerugian materi cukup besar, tapi juga banyak korban manusia. Karenanya pada 2008 dalam Gerakan Indonesia Hijau dalam rangka Kebangkitan Indonesia 100 tahun menargetkan penanaman 100 juta pohon. (*)